“KAIDAH-KAIDAH NIAT”
Makalah
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
semester ganjil
di susun oleh:
Imam hermanu
(201205010076)
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
PROGRAM STUDI
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SUNAN GIRI SURABAYA
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat alloh yang maha kuasa yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani atas terselesaikannya makalah ushul fiqih tentang
kaidah-kaidah niat.
Salawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad
SAW yang telah menuntun kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang
benderang yaitu melalui agama islam
Penulisan
makalah ini adalah salah satu tugas mata pelajaran ushul fiqh. Dalam menulis
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan
maupun materi. Mengingat kemampuan yang kami miliki. Serta kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu kami. Semoga alloh
memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Amin…
Sidoarjo, 27 april 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
pengantar
Daftar isi
BAB
I – PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang masalah
B.
Rumusan masalah
C.
Tujuan
BAB
II – PEMBAHASAN
A.
Teks kaidah niat
B.
Dasar dasar nash kaidah niat
C.
Fungsi-fungsi niat
D.
Eksistensi niat
E.
Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan niat
BAB
III – PENUTUP
A.
Kesimpulan
REFERENSI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pasca kaidah asasiah
semula di namakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokaok dari segala kaidah fiqhiah
yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat di selesaikan dengan kalimat
kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan
dasar-dasar hokum secara tafsiri.
Pasca kaidah itu di
gali dari sumber-sumber hokum, baik melalui al-quran dan as-sunnah maupun
dalil-dalil istinbat. Karena itu, setiap kaidah di dasarkan atas nash-nash
pokok yang dapat di nilai sebagai setandart hukun fiqh, sehingga sampai dari
nash itu dapat di wakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Salah satu panca
kaidah asasiah adalah kaidah niat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Teks
kaidah niat
2. Dasar
dasar nash kaidah niat
3. Fungsi-fungsi
niat
4. Eksistensi
niat
5. Kaidah-kaidah
yang berkenaan dengan niat
C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan
ini tidak lain hanya untuk mengetahui lebih dalam tentang pengertian niat,
kaidah-kaidah niat dan fungsi dari pada niat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
TEKS KAIDAH NIAT
Al
umuru bi maqo sidiha.
“segala
sesuatu tergantung pada tujuannya” (jalaluddin Abdurrahman as suyuti, TT: 6)
B.
DASAR-DASAR NASH KAIDAH NIAT BESERTA
PENGERTIANNYA
Firman
alloh;
Wama
umiru illa liya’budulloha mukhlisina lahuddina khunafa’a… (al bayyinah : 5)
Artinya:
dan mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah alloh dan memurnikan
kepadanya agama yang lurus…. (Q,S al- bayyinah : 5)
Sabda
nabi:
Innamal a’malu binniat wainnama
likullimri’in ma nawa.
“Sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah
apa yang di niatkannya”
Innama yub’astunassu ala niatihim
(ibnu majah dan abu huroiroh)
Sesungguhnya
manusia itu akan di bangkitkan untuk memeroleh balasan sesuai dengan niat
masing-masing.
Demikian
dasar-dasar dari kaidah di atas. Adapun pengertiannya ialah bahwa amal
perbuatan baik, dalam hubungan dengan alloh maupun dengan sesame makhluk,
nilainya di tentukan oleh niat serta tujuan di lakukannya.
Dalam
perbuatan ibadah yaitu amal perbuatan yang berhubungan dengan allah, niat
Karena allah adalah merupakan rukun, sehingga menentukan sah atau tidaknya
sesuai amal. Sedangkan dalam perbuatan yang ada hubungannya dengan manusia,
seperti muamalah,munakahah, jinayah dan sebagainya. Niat adalah merupakan
penentu, apakah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau
sebaliknya, merupakan perbuatan yang membawa dosa atau tidak.
C.
FUNGSI NIAT
Fungsi
niat di antaranya yaitu:
Petama :
untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah
puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun
terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum Karena kebiasaan. Tanpa adanya
niat mendekatkan diri kepada alloh. Terkadang pula maksudnya ibadah. Oleh
Karena itu, keduanya harus perlu di bedakan dengan niat.
Kedua
: untuk membedakan satu ibadah dan ibadah yang lainnya. Ada ibadah yang
hukumnya fardu ain, ada yang fardu kifayah. Ada yang termasuk rawatib, ada yang
niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja. Semua ini di
bedakan dengan niat.
Niat,
di samping sebagai alat untuk menilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah
tersendiri seperti yang dapat di pahami dari hadits nabi:
Niatu
mu’min khoirun min amalihi (riwayat at tabrani)
Niat
seorang mu’min lebih baik dari amalnya (tanpa niat)
Artinya
seorang mu’min niat beramal kebaikan Karena alloh, kemudian dia tak dapat
melaksanakannya, dia mendapatkan pahala, sedangkan seorang mu’min beramal saja
tanpa adanya niat Karena allah, tidak mendapatkan pahala.
Yang
termasuk dalam bahasan niat juga adalah ikhlas. Ikhlas yang di maksudkan adalah
kadar tambahan dari sekedar niat beramal semata. Dalam ikhlas ada tambahan
selain niat beramal, adapula niat kepada sasaran ibadah. Inilah yang di sebut
ikhlas. Ikhlas artinya seseorang hamba memaksudkan amalnya untuk mengharapkan
wajah allah, tidak ingin mengharapkan yang lainnya.
D.
EKSISTENSI NIAT
Para
fuqoha berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahman
bin hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I
mendudukanya sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus di
lakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan. Sedangkan rukun adalah ketentuan
yang harus di lakukan bersama dengan perbuatan. (Abdurrahman al-jaziri, TT :
73)
Akibat
perselisihan ini, maka membawa dampak hokum. Misalnya, hokum membaca usholli
dalam shalat. Bagi imam abu hanifah dan imam ahmad menyatakan bid’ah bacaan
itu, Karena nabi SAW tidak pernah mengajarkan, dan setiap amalan, ibadah harus
berdasarkan dalil, bila tidak, maka di tolak. Lagi pula talaffudin niat
tersebut sudah termasuk rangkaian shalat. Bagi imam syafi’I menyatakan sunnah
membacanya, sebab niat merupakan rukun shalat dan membaba usholli tidak
termasuk rangkaian shalat, Karena itu fungsi talaffudin niat adalah untuk
menambah kemantapan dalam memulai shalat.
Jalaluddin
Abdurrahman as-suyuti menyatakan bahwa waktu niat adalah di permulaan ibadah.
(as suyuti, TT : 17). Sedang tempatnya di dalam qolb yang bersamaan dengan
perbuatan. Al- baidhowi menyatakan bahwa niat merupakan ungkapan yang
membangkitkan kehendak hati tentang apa yang di lihat yang bertujuan untuk
menarik manfaat dan menolak kerusakan serta semata-mata untuk mencari ridho
alloh atas hikmah memenuhi perintahnya. (as-suyuti, TT : 22)
Pada
dasarnya, ibadah itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak
membutuhkanya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang
memerlukan penjelasan secara khusus. Misalnya niat shalat, apakah shalat wajib
atau sunnah. Apakah shalat ashar atau maghrib dan sebagainya. Dan ibadah yang
tidak membutuhkan niat, Karena bukan ibadah amaliyah yang di perintahkan secara
adat. Misalnya iman kepada alloh cukup di lakukan dengan bacaan sahadatain,
sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat beriman kepada alloh SWT.
(as-suyuti. TT: 9-10)
Niat
seseorang kadang di lihat dari qorinah yang dapat di jadikan alat untuk
mengetahui macam niat tersebut. Misalnya seorang pemburu yang menembak binatang
buruan di hutan, yang kemudian ternyata mengenai sasaran manusia pencari kayu.
Kasus seperti ini tidak bisa di kategorikan kepada pembunuhan sengaja (qo-tiul
ahmad), Karena adanya hitam yang menjadi penghalang bagi penglihatan terhadap
binatang buruan tersebut yang mengakibatkan kesalahan (inilah sebagai qorinah).
Karena itu di golongkan pembunuh tidak sengaja. (qo-tilul khotto’). Tentunya
hukuman pembunuhan sengaja dengan pembunuhan tidak sengaja tidak sama.
E.
KAIDAH-KAIDAH YANG BERKENAAN DENGAN NIAT
Termasuk
dalam lingkungan kaidah ini, ialah kaidah-kaidah berikut :
1) Sesuatu
amal yang dalam pelaksanaannya tidak di syaratkan untuk di jelaskan/di pastikan
niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian di
pastikan dan ternyata salah maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya
shalat)
Contohnya : orang yang dalam niat
shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu di masjid atau di rumah,;
harinya shalat yaitu hari rabu atau kamis; imamnya dalam suatu shalat jama’ah,
si fulan atau si zaid, kemudian apa yang di tegaskan itu keliru, maka shalatnya
tetap sah.
2) Pada
suatu amal dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/ kejelasan niatnya, maka
kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal.
Contohnya : orang yang menunaikan shalat
dhuhur wajib menegaskan niat shalat dhuhur itu. Demikian juga yang akan
mengerjakan shalat ashar wajib tegas niat shalat ashar, oleh sebab itu tidak
sah mengerjakan shalat dhuhur dengan menjalankan niat shalat ashar dan
sebaliknya.
3) Sesungguhnya
amal yang niatnya harus di pastikan secara garis besar, tidak terperinci,
kemudian di pastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan
sahnya amal.
Contohnya : orang shalat berjamaah
dengan niat ma’mum pada umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah zaed,
maka sah ma’mumnya.
Orang shalat jenazah dengan niat
menyembahyangkan mayit laki-laki kemudian ternyata mayyitnya perempuan,
shalatnya tidak sah.
4) Niat
dalam sumpah mengkhususkan lafadz ‘aam, tidak menjadikan ‘aam lafadz yang khos.
Contohnya : orang bersumpah tidak akan
berbicara dengan orang, tetapi yang di maksud ialah seorang tertentu, yaitu
zaed, maka sumpah hanya berlaku pada zaed.
5) Maksud
dari lafadz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalan satu
tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qodli dalam keadaan demikian maka maksud
lafadz adalah menurut niat qodli.
Contohnya : seorang suami memangil
istrinya bernama thaliq (yang di talaq) atau seorang tuan memanggil budaknya
bernama hurroh (yang di merdekakan), maka apabila memaggilnya ia bermaksud
mentalak istrinya atau memerdekakan budaknya, maka tercapailah maksudnya yakni
terjadi perceraian dengan istrinya dan terjadi pembebasab budaknya.
6) Yang
di anggap (dipegangi) dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan
lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan.
Contohnya : apabila dalam suatu akad
terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud si penbuat dengan lafadz yang
di ucapkannya maka yang harus di anggap sebagai suatu akad adalah
niat/maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat di ketahui.
Oleh Karena itu, jika ada dua orang yang
mengadakan satu akad dengan lafadz memberi barang dengan syarat adanya
pembayaran harga barang itu, maka akad ini di pandang sebagai akad jual beli.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Para
fuqoha berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahman
bin hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I
mendudukanya sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus di
lakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan. Sedangkan rukun adalah ketentuan
yang harus di lakukan bersama dengan perbuatan.
Akibat
perselisihan ini, maka membawa dampak hokum. Misalnya, hokum membaca usholli
dalam shalat. Bagi imam abu hanifah dan imam ahmad menyatakan bid’ah bacaan
itu, Karena nabi SAW tidak pernah mengajarkan, dan setiap amalan, ibadah harus
berdasarkan dalil, bila tidak, maka di tolak. Lagi pula talaffudin niat
tersebut sudah termasuk rangkaian shalat. Bagi imam syafi’I menyatakan sunnah
membacanya, sebab niat merupakan rukun shalat dan membaba usholli tidak
termasuk rangkaian shalat, Karena itu fungsi talaffudin niat adalah untuk
menambah kemantapan dalam memulai shalat.
ibadah
itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak membutuhkanya. Ibadah
yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang memerlukan penjelasan
secara khusus. Misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau sunnah. Apakah
shalat ashar atau maghrib dan sebagainya. Dan ibadah yang tidak membutuhkan
niat, Karena bukan ibadah amaliyah yang di perintahkan secara adat. Misalnya iman
kepada alloh cukup di lakukan dengan bacaan sahadatain, sedang setiap hari
tidak perlu melakukan niat beriman kepada alloh SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Usman,
muchlis.”kaidah kaidah ushuliyyah dan fiqhiyah”. 2002
Mujib, abdul, haji.
“kaidah-kaidah ilmu fiqh”. Cet. 2. Jakarta : kalam mulia, 2001
http://www.kaidah%20fiqiyah%20%20 suheri%20%20%20syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar