Sabtu, 04 Januari 2014

Kaidah Kaidah Niat



 “KAIDAH-KAIDAH NIAT”

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
    semester ganjil









                                                 di susun oleh:      
                                   Imam hermanu (201205010076)



FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2013







KATA PENGANTAR 

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat alloh yang maha kuasa yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani atas terselesaikannya makalah ushul fiqih tentang kaidah-kaidah niat.
Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang yaitu melalui agama islam
Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata pelajaran ushul fiqh. Dalam menulis makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi. Mengingat kemampuan yang kami miliki. Serta kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu kami. Semoga alloh memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Amin…


Sidoarjo, 27 april 2013


Penulis







DAFTAR ISI

Kata pengantar
Daftar isi

BAB I – PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang masalah
B.     Rumusan masalah
C.     Tujuan

BAB II – PEMBAHASAN
A.    Teks kaidah niat
B.     Dasar dasar nash kaidah niat
C.     Fungsi-fungsi niat
D.    Eksistensi niat
E.     Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan niat

BAB III – PENUTUP
A.    Kesimpulan

REFERENSI





BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pasca kaidah asasiah semula di namakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokaok dari segala kaidah fiqhiah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat di selesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hokum secara tafsiri.
Pasca kaidah itu di gali dari sumber-sumber hokum, baik melalui al-quran dan as-sunnah maupun dalil-dalil istinbat. Karena itu, setiap kaidah di dasarkan atas nash-nash pokok yang dapat di nilai sebagai setandart hukun fiqh, sehingga sampai dari nash itu dapat di wakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Salah satu panca kaidah asasiah adalah kaidah niat.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Teks kaidah niat
2.      Dasar dasar nash kaidah niat
3.      Fungsi-fungsi niat
4.      Eksistensi niat
5.      Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan niat

C.     TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini tidak lain hanya untuk mengetahui lebih dalam tentang pengertian niat, kaidah-kaidah niat dan fungsi dari pada niat.







BAB II
PEMBAHASAN

        A.        TEKS KAIDAH NIAT
Al umuru bi maqo sidiha.                 
“segala sesuatu tergantung pada tujuannya” (jalaluddin Abdurrahman as suyuti, TT: 6)
         B.        DASAR-DASAR NASH KAIDAH NIAT BESERTA PENGERTIANNYA
Firman alloh;
Wama umiru illa liya’budulloha mukhlisina lahuddina khunafa’a… (al bayyinah : 5)
Artinya: dan mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah alloh dan memurnikan kepadanya agama yang lurus…. (Q,S al- bayyinah : 5)
Sabda nabi:
Innamal a’malu binniat wainnama likullimri’in ma nawa.
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang di niatkannya”
Innama yub’astunassu ala niatihim (ibnu majah dan abu huroiroh)
Sesungguhnya manusia itu akan di bangkitkan untuk memeroleh balasan sesuai dengan niat masing-masing.
Demikian dasar-dasar dari kaidah di atas. Adapun pengertiannya ialah bahwa amal perbuatan baik, dalam hubungan dengan alloh maupun dengan sesame makhluk, nilainya di tentukan oleh niat serta tujuan di lakukannya.
Dalam perbuatan ibadah yaitu amal perbuatan yang berhubungan dengan allah, niat Karena allah adalah merupakan rukun, sehingga menentukan sah atau tidaknya sesuai amal. Sedangkan dalam perbuatan yang ada hubungannya dengan manusia, seperti muamalah,munakahah, jinayah dan sebagainya. Niat adalah merupakan penentu, apakah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya, merupakan perbuatan yang membawa dosa atau tidak.

         C.        FUNGSI NIAT
Fungsi niat di antaranya yaitu:
Petama : untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum Karena kebiasaan. Tanpa adanya niat mendekatkan diri kepada alloh. Terkadang pula maksudnya ibadah. Oleh Karena itu, keduanya harus perlu di bedakan dengan niat.
Kedua : untuk membedakan satu ibadah dan ibadah yang lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardu ain, ada yang fardu kifayah. Ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja. Semua ini di bedakan dengan niat.
Niat, di samping sebagai alat untuk menilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah tersendiri seperti yang dapat di pahami dari hadits nabi:
Niatu mu’min khoirun min amalihi (riwayat at tabrani)
Niat seorang mu’min lebih baik dari amalnya (tanpa niat)
Artinya seorang mu’min niat beramal kebaikan Karena alloh, kemudian dia tak dapat melaksanakannya, dia mendapatkan pahala, sedangkan seorang mu’min beramal saja tanpa adanya niat Karena allah, tidak mendapatkan pahala.
Yang termasuk dalam bahasan niat juga adalah ikhlas. Ikhlas yang di maksudkan adalah kadar tambahan dari sekedar niat beramal semata. Dalam ikhlas ada tambahan selain niat beramal, adapula niat kepada sasaran ibadah. Inilah yang di sebut ikhlas. Ikhlas artinya seseorang hamba memaksudkan amalnya untuk mengharapkan wajah allah, tidak ingin mengharapkan yang lainnya.

        D.        EKSISTENSI NIAT
Para fuqoha berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahman bin hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I mendudukanya sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus di lakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan. Sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus di lakukan bersama dengan perbuatan. (Abdurrahman al-jaziri, TT : 73)
Akibat perselisihan ini, maka membawa dampak hokum. Misalnya, hokum membaca usholli dalam shalat. Bagi imam abu hanifah dan imam ahmad menyatakan bid’ah bacaan itu, Karena nabi SAW tidak pernah mengajarkan, dan setiap amalan, ibadah harus berdasarkan dalil, bila tidak, maka di tolak. Lagi pula talaffudin niat tersebut sudah termasuk rangkaian shalat. Bagi imam syafi’I menyatakan sunnah membacanya, sebab niat merupakan rukun shalat dan membaba usholli tidak termasuk rangkaian shalat, Karena itu fungsi talaffudin niat adalah untuk menambah kemantapan dalam memulai shalat.
Jalaluddin Abdurrahman as-suyuti menyatakan bahwa waktu niat adalah di permulaan ibadah. (as suyuti, TT : 17). Sedang tempatnya di dalam qolb yang bersamaan dengan perbuatan. Al- baidhowi menyatakan bahwa niat merupakan ungkapan yang membangkitkan kehendak hati tentang apa yang di lihat yang bertujuan untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan serta semata-mata untuk mencari ridho alloh atas hikmah memenuhi perintahnya. (as-suyuti, TT : 22)
Pada dasarnya, ibadah itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak membutuhkanya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang memerlukan penjelasan secara khusus. Misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau sunnah. Apakah shalat ashar atau maghrib dan sebagainya. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat, Karena bukan ibadah amaliyah yang di perintahkan secara adat. Misalnya iman kepada alloh cukup di lakukan dengan bacaan sahadatain, sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat beriman kepada alloh SWT. (as-suyuti. TT: 9-10)
Niat seseorang kadang di lihat dari qorinah yang dapat di jadikan alat untuk mengetahui macam niat tersebut. Misalnya seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata mengenai sasaran manusia pencari kayu. Kasus seperti ini tidak bisa di kategorikan kepada pembunuhan sengaja (qo-tiul ahmad), Karena adanya hitam yang menjadi penghalang bagi penglihatan terhadap binatang buruan tersebut yang mengakibatkan kesalahan (inilah sebagai qorinah). Karena itu di golongkan pembunuh tidak sengaja. (qo-tilul khotto’). Tentunya hukuman pembunuhan sengaja dengan pembunuhan tidak sengaja tidak sama.

         E.         KAIDAH-KAIDAH YANG BERKENAAN DENGAN NIAT
Termasuk dalam lingkungan kaidah ini, ialah kaidah-kaidah berikut :
1)      Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak di syaratkan untuk di jelaskan/di pastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian di pastikan dan ternyata salah maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya shalat)
Contohnya : orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu di masjid atau di rumah,; harinya shalat yaitu hari rabu atau kamis; imamnya dalam suatu shalat jama’ah, si fulan atau si zaid, kemudian apa yang di tegaskan itu keliru, maka shalatnya tetap sah.
2)      Pada suatu amal dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/ kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal.
Contohnya : orang yang menunaikan shalat dhuhur wajib menegaskan niat shalat dhuhur itu. Demikian juga yang akan mengerjakan shalat ashar wajib tegas niat shalat ashar, oleh sebab itu tidak sah mengerjakan shalat dhuhur dengan menjalankan niat shalat ashar dan sebaliknya.
3)      Sesungguhnya amal yang niatnya harus di pastikan secara garis besar, tidak terperinci, kemudian di pastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal.
Contohnya : orang shalat berjamaah dengan niat ma’mum pada umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah zaed, maka sah ma’mumnya.
Orang shalat jenazah dengan niat menyembahyangkan mayit laki-laki kemudian ternyata mayyitnya perempuan, shalatnya tidak sah.
4)      Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz ‘aam, tidak menjadikan ‘aam lafadz yang khos.
Contohnya : orang bersumpah tidak akan berbicara dengan orang, tetapi yang di maksud ialah seorang tertentu, yaitu zaed, maka sumpah hanya berlaku pada zaed.
5)      Maksud dari lafadz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalan satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qodli dalam keadaan demikian maka maksud lafadz adalah menurut niat qodli.
Contohnya : seorang suami memangil istrinya bernama thaliq (yang di talaq) atau seorang tuan memanggil budaknya bernama hurroh (yang di merdekakan), maka apabila memaggilnya ia bermaksud mentalak istrinya atau memerdekakan budaknya, maka tercapailah maksudnya yakni terjadi perceraian dengan istrinya dan terjadi pembebasab budaknya.
6)      Yang di anggap (dipegangi) dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan.
Contohnya : apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud si penbuat dengan lafadz yang di ucapkannya maka yang harus di anggap sebagai suatu akad adalah niat/maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat di ketahui.
Oleh Karena itu, jika ada dua orang yang mengadakan satu akad dengan lafadz memberi barang dengan syarat adanya pembayaran harga barang itu, maka akad ini di pandang sebagai akad jual beli.









BAB III
  PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Para fuqoha berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahman bin hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I mendudukanya sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus di lakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan. Sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus di lakukan bersama dengan perbuatan.
Akibat perselisihan ini, maka membawa dampak hokum. Misalnya, hokum membaca usholli dalam shalat. Bagi imam abu hanifah dan imam ahmad menyatakan bid’ah bacaan itu, Karena nabi SAW tidak pernah mengajarkan, dan setiap amalan, ibadah harus berdasarkan dalil, bila tidak, maka di tolak. Lagi pula talaffudin niat tersebut sudah termasuk rangkaian shalat. Bagi imam syafi’I menyatakan sunnah membacanya, sebab niat merupakan rukun shalat dan membaba usholli tidak termasuk rangkaian shalat, Karena itu fungsi talaffudin niat adalah untuk menambah kemantapan dalam memulai shalat.
ibadah itu ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak membutuhkanya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang memerlukan penjelasan secara khusus. Misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau sunnah. Apakah shalat ashar atau maghrib dan sebagainya. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat, Karena bukan ibadah amaliyah yang di perintahkan secara adat. Misalnya iman kepada alloh cukup di lakukan dengan bacaan sahadatain, sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat beriman kepada alloh SWT.








DAFTAR PUSTAKA
Usman, muchlis.”kaidah kaidah ushuliyyah dan fiqhiyah”. 2002
Mujib, abdul, haji. “kaidah-kaidah ilmu fiqh”. Cet. 2. Jakarta : kalam mulia, 2001
http://www.kaidah%20fiqiyah%20%20 suheri%20%20%20syariah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar